Setelah 13 tahun mempertahankan tampilan lamanya, Domino’s akhirnya memutuskan untuk “memoles” dirinya dari ujung kotak hingga ke nada suaranya. Bukan sekadar perubahan kosmetik; ini adalah upaya menghidupkan kembali daya tarik emosional sebuah merek yang dulu identik dengan kecepatan dan kepraktisan, tapi perlahan kehilangan daya magisnya di tengah hiruk-pikuk dunia digital.
Kini, Domino’s datang dengan wajah baru: warna merah-biru yang lebih menyala, font yang empuk secara visual, kemasan yang lebih menggoda, dan jingle baru yang secara harfiah membuat lidah ingin mengucap, “Mmm.”
Langkah besar ini menandai penyegaran merek pertama Domino’s sejak 2012 — masa yang di dunia cepat saji setara dengan seabad.
Rebranding dari Posisi Kuat
Rebranding biasanya jadi langkah darurat. Perusahaan menempuhnya saat penjualan anjlok, citra rusak, atau pesaing mulai melahap pangsa pasar. Domino’s, anehnya, tidak sedang krisis. Mereka tetap salah satu raksasa pizza global dengan kehadiran di lebih dari 90 negara dan penjualan tahunan mencapai miliaran dolar.
Lalu, mengapa repot-repot?
Kate Trumbull, Executive Vice President sekaligus Global Chief Marketing Officer Domino’s, menjelaskan alasannya dengan nada percaya diri. “Kami tidak rebrand karena terpaksa. Kami melakukannya karena kami lapar akan sesuatu yang lebih,” katanya, mengacu pada slogan internal baru mereka: Hungry for MORE.
“Selama ini Domino’s dikenal sebagai perusahaan teknologi yang kebetulan menjual pizza,” ujarnya. “Sekarang kami ingin kembali menempatkan rasa dan pengalaman pelanggan di pusat identitas kami.”
Dengan kata lain, Domino’s sadar: di dunia di mana semua brand berlomba jadi “pintar” dan “digital,” yang paling langka justru adalah kehangatan manusiawi.
Visual Baru: Panas, Berani, dan Sedikit Provokatif
Elemen paling kentara dari transformasi ini adalah visualnya. Warna merah dan biru khas Domino’s dipertahankan, tapi disetel ulang menjadi lebih tajam dan hidup — “seperti pizza yang baru keluar dari oven,” kata tim desain internal.
Font baru mereka, Domino’s Sans, didesain agar terasa lembut dan membulat, menyerupai bentuk adonan pizza yang mengembang di oven. Di dunia branding, ini bukan sekadar estetika; ini pesan bawah sadar. Font yang melengkung menimbulkan asosiasi “hangat,” “ramah,” dan “dapat dipercaya.”
Selain itu, Domino’s juga memperkenalkan Cravemark — identitas suara sekaligus visual baru yang menonjolkan “Mmm” di tengah kata “Dommmino’s.” Sederhana tapi jenius: sebuah strategi fonetik yang membuat merek mereka lebih mudah diingat di kepala (dan di telinga).
Musik Jadi Senjata Baru
Jika Anda mendengar iklan baru Domino’s, Anda akan sadar satu hal: mereka tidak lagi mengandalkan slogan. Mereka menggunakan suara.
Kolaborasi dengan musisi Shaboozey menghasilkan jingle baru “Dommmino’s,” yang menonjolkan suara “Mmm” secara sensual dan menggoda. Domino’s sadar bahwa dalam budaya TikTok dan Instagram Reels, suara bisa lebih viral daripada gambar.
Strateginya jelas: ubah setiap interaksi dengan brand — dari iklan TV hingga notifikasi aplikasi — menjadi pengalaman yang memicu reaksi fisik: rasa lapar, senyum kecil, atau bahkan sekadar desahan “Mmm.”
Marketing modern sedang bergerak ke arah itu: neurobranding. Menggugah emosi tanpa harus menjelaskan apa pun.
Kotak Baru, Filosofi Baru
Kotak pizza selama ini cuma wadah, tapi Domino’s menjadikannya media komunikasi. Desain baru mereka lebih minimalis namun kuat: logo diperbesar, warna lebih kontras, dan font baru jadi pusat perhatian.
Untuk produk premium seperti Handmade Pan dan Parmesan Stuffed Crust, Domino’s menghadirkan kotak hitam dengan sentuhan emas metalik. Ini bukan kebetulan — warna hitam dan emas menandakan eksklusivitas, seolah Domino’s ingin berkata: “Kami bukan sekadar pizza cepat saji. Kami pizza yang pantas dirayakan.”
Kotak baru ini juga memudahkan identifikasi produk dan menonjolkan citra Domino’s di media sosial. Dalam era di mana foto unboxing makanan bisa viral, kotak pizza bukan lagi sekadar karton — tapi alat storytelling.
Rebranding 360 Derajat
Pembaruan ini tidak berhenti di logo atau kotak. Identitas baru akan diterapkan ke semua lini: aplikasi, website, desain interior toko, iklan televisi, bahkan seragam karyawan. Domino’s ingin memastikan setiap titik kontak dengan pelanggan terasa konsisten dan “menggoda.”
Pendekatan ini disebut “brand immersion” — bukan hanya dilihat, tapi dirasakan. Dari warna dinding hingga suara notifikasi di aplikasi, semuanya harus menyampaikan satu pesan: “Domino’s membuatmu lapar dengan cara yang menyenangkan.”
Analisis: Antara Inovasi dan Kosmetik
Namun, tidak semua orang yakin. Para analis pemasaran menilai langkah Domino’s ini berisiko jika tidak diikuti dengan inovasi nyata di produk dan layanan.
Rebrand bisa memperbarui persepsi, tapi tidak bisa menutupi kenyataan. Jika pizza tetap biasa-biasa saja, tidak ada warna atau jingle yang bisa menyelamatkan.
Beberapa pengamat bahkan menyebut ini sebagai “brand theatre” — pertunjukan kreatif untuk menyalakan kembali minat publik, tapi belum tentu berdampak signifikan terhadap loyalitas pelanggan.
Namun Domino’s tampaknya sudah memperhitungkan itu. Mereka menegaskan bahwa rebranding ini bukan pengganti inovasi produk, melainkan penguatnya.
Langkah ini juga mempertegas arah strategi jangka panjang Domino’s: memperluas dominasi di dunia digital tanpa kehilangan sentuhan manusia.
Psikologi di Balik ‘Mmm’
Bagian paling menarik dari rebrand ini justru ada pada jingle “Mmm.” Suara itu sederhana tapi sangat strategis. Dalam neuromarketing, bunyi “Mmm” menstimulasi bagian otak yang berhubungan dengan kenikmatan dan kepuasan.
Dengan kata lain, Domino’s sedang menanamkan reaksi biologis di kepala pelanggan. Setiap kali mendengar “Dommmino’s,” otak akan mengasosiasikan rasa lapar dan kesenangan.
Bagi Domino’s, ini bukan sekadar branding. Ini manipulasi psikologis — dalam arti positif dan legal.
Konteks Industri: Persaingan yang Mendidih
Langkah Domino’s juga perlu dilihat dalam konteks kompetisi brutal di dunia pizza cepat saji.
Pizza Hut, misalnya, telah melakukan rebranding visual dan digital besar-besaran pada 2019, menonjolkan nuansa retro untuk menghidupkan nostalgia. Papa John’s meluncurkan desain baru pada 2021 yang lebih minimalis dan bersih.
Domino’s, seolah menyadari bahwa semua pemain sudah mencoba “nostalgia,” memilih jalur berbeda: emosi sensorik.
Alih-alih membuat orang teringat masa lalu, Domino’s ingin membuat orang lapar sekarang juga.
Global vs Lokal: Daya Tarik yang Harus Diuji
Meski strategi ini bekerja di pasar Amerika, pertanyaannya: apakah efek yang sama akan terasa di pasar lain seperti Asia atau Timur Tengah?
Ekspresi “Mmm” bersifat universal, tapi persepsi warna, nada, dan gaya promosi bisa berbeda-beda antarbudaya. Misalnya, warna merah di Barat diasosiasikan dengan energi dan gairah, sementara di Asia Timur bisa berarti keberuntungan.
Domino’s harus memastikan brand refresh ini tidak terasa terlalu “Amerika-sentris.” Kalau tidak, kampanye global mereka bisa terdengar asing di luar negeri — termasuk Indonesia, di mana selera visual dan humor konsumen sering lebih subtil.
Rebranding Sebagai Taktik Kelaparan
Ada paradoks menarik di sini. Domino’s memilih tema “lapar” sebagai pusat identitas barunya. Kata “hungry” bukan hanya metafora untuk ambisi, tapi juga cara Domino’s menegaskan: kami tidak kenyang dengan sukses lama.
Dalam dunia bisnis yang cepat berubah, rasa lapar memang satu-satunya energi yang bisa membuat merek bertahan. Tapi di sisi lain, lapar juga berisiko membuat merek impulsif. Terlalu cepat berubah bisa membuat konsumen kehilangan rasa familiar yang mereka cintai.
Domino’s harus menjaga keseimbangan antara berani dan berlebihan — antara inovasi dan kehilangan jati diri.
Aroma Masa Depan
Apakah langkah Domino’s ini akan berhasil? Terlalu dini untuk menilai. Tapi satu hal pasti: mereka berhasil membuat dunia berbicara.
Rebranding mereka tidak hanya memoles logo, tapi juga memperkenalkan paradigma baru dalam pemasaran makanan cepat saji: rasa bisa dijual tanpa gigitan.
Jika kampanye ini sukses, jangan heran kalau merek lain — dari kopi hingga burger — akan mulai bereksperimen dengan “suara kenikmatan” mereka sendiri. Dunia branding baru saja menemukan senjata baru: bunyi lapar.
Penutup
Perubahan ini mungkin terasa sederhana, tapi di balik warna, font, dan jingle “Mmm” itu, Domino’s sedang menyusun ulang cara manusia merespons makanan — lewat otak, bukan hanya perut.
Dan untuk sebuah perusahaan yang “lapar akan lebih,” langkah ini bisa jadi potongan pertama dari resep kesuksesan berikutnya.